DESKRIPSI-DESKRIPSI MIMPI RITA

Rabu, 09 Maret 2011

   Namaku RITA. Seperti aku belum pernah memasuki rumahmu. Begitulah kita tidak saling mengenal. Tentu tak kenal maka tak sayang kata orangorang. Tapi kenapa rumah? Rumah seperti sebuah dunia yang selalu di kunjungi. Dimana seseorang meletakkan mi...mpi sebagai arsitektur hidup. Dan pada rumah inilah orangorang menemukan pintu untuk memasuki orang lain. Seperti belajar meletakkan liang nama sendiri. Saling mengintip cinta. Dunia tempat yang di panggil dengan marah., sebel dan benci misalnya. Rumah seperti nama lain bagi orang dan bajunya. Apa mungkin karena dalam rumah kita bisa menemukan kamar tidur. Dan tidur, apalagi tidur berdua merupakan mimpi yang menelikung gelap ranjang dan, ”kami memang benarbenar menyatu”. Tanpa curiga bukan atas sakwa sangka. Maka, mulai saat itu aku menitipkan salam kenal bagi setiap orang. Aku. Aku rita yang lugu, aku yang gugu, adalah rita mereka yang gemetar tiap mengingat semua tentang ndesa. Walau rambutku telah di cat warna merah, bibir di poles lipstik, berjalanku genit, bajuku billabong/cressida, dan kakiku di bungkus celana blue jeans merk levi’s 505. tetap saja kadang sawahsawah, ladang, kerbau, pohon pisang didamping rumah, gemerincing bambu, sungai dengan geladak kayu itu datang berbicara padaku sebagai kenangan yang patah. Lalu_ ya. Malam itu, masih segar dalam ingatanku. Malam yang mulai mencekik leherku, dengan lubang jebakan yang menyimpan hujan dalam celananya. Hujan yang siap membanjiri tubuhku/tubuhmu; dan kita perlahan tenggelam: seperti mimpi yang kehabisan waktu.   Tapi mengapa hanya mimpiku?   1 menanam bahasa dari kulit kacang   :Sebuah kenangan akan mengelupas dari rongga kepala, berlepasan seperti kulit kacang dari bijinya.   Hanya satu kali mimpinya. Seperti malam itu, aku, perempuan yang menyimpan hujan, sawahsawah dan ladang juga pohonan. Ndesa orangorang bilang, biarin. Kemudian mimpi itu berulang, lagi dan lagi. Lelaki bertanduk dengan tubuh legam. Dari matanya menyemburkan api kesumat. Laknat yang menjulur dari liang kelamin ke seluruh penjuru rumahrumah. Kemudian anakanak mengenal mimpi buruk pertamanya. Sementara seperti musimmusim sebelumnya, aku masih mengenangnya dari selasela pintu. Bagaimana dengan cara yang sama ia tanam bahasa di sakunya. Tangannya keranjang penuh kacang dan buah. Semacam rekayasa sopan santun yang di tanam di halaman sejak belanda datang; agar damai. Agar kau dapatkan mimpi pertamamu, agar sayapsayap tumbuh di kedua lengamu, dan kau garuda bersayap sepuluh! Tapi aku tak tahu kenapa harus burung. Apa biar tidak ndesa. Apakah nasib mengenal kemarahan dimatanya? Apakah dalam sejarahnya manusia di lahirkan dari paruh burung yang dikutuk malammalam oleh zeus agung, lantas kemudian hari ia berhasrat menjadi dewa. Sebab terbang terlalu jauh melintas hingga pohon rahasia dan ia mengetahui segala mimpi manusia. Perlahanlahan dijilatnya bau murung; sebuah bahasa yang terkapar di tikam lapar. Sampai bulubulu itu berlepasan menancap di pintupintu sebagai azimat para moyang.   :Bukan puisi di pusar sajakku. Katakata yang terus belia menunggu rasa dan makna. Membunuh penyair, dan bahasa yang semakin tua.   2 rumah yang bernasib buruk   -sejak saat itu, siapa yang kelewat batas, kenangannya akan tumpas.   Malam sampai juga di rumahku. Menggambar gelap dengan barisan beringin dan perdu. Situasi yang mengajakku tinggal, untuk mengulang setiap nasib sebagai diriku/dirimu: diri beku, diribiru. Bukan lantaran biru mewakili mimpi yang panjang dan malam tak pulangpulang. Bukan juga biru adalah tapal batas pandangan dan kita menemu samar. Di luar, hujan dikamarkamar. Petir menyambarnyambar, hingga tubuhku terlempar bukan sebagai rita yang mami kenal. Rita dengan pohonpohon, gunung, laut dan pantai. Rita yang ditubuhnya tak ada lagi peta dan alamat jalan pulang.   ”Marilah kemari, aku ceritakan tentang camar. Cerita yang dimulai dari tangantangan hujan di kaca jendela dan burungburng Belajar terbang dengan paruh luka. Lalu_ Dalam kemelut hujan, kau menemukannya jatuh sebagai kupukupu yang menemani sebagai malammalam!”   3 tentang ayah dari pecahan televisi   ”setiap orang memimpikannya, tapi kau membakarnya dan menguburkannya sebagai mimpi buruk”   Hei, kamu tidur rita? Kata papiku di jendela rumah kita. Kakikaki kata yang sering kali menerorku dari televisi rumah tetangga. Ia mengajarkan bagaimana caranya melotot dan marahmarah. Aku seperti dikejari berita kriminal, gossip selebritis serta telenovela. Sejak saat itu aku merasa ada yang tumbuh di jantungku, seperti pohon pisang di halaman. Yang bedanya dari pohon pisang itu, batangnya baja, daundaunnya baja. Sssttt... akarakarnya mencengkram hatiku, loch! Dan daundaunnya serupa tangga di samping rumah yang memasuki lelaki itu. Melukai sudut matanya dengan tempias hujan. Akhirnya aku putuskan, sejak malam itu, atau malamamalam selain itu: tak ada lagi waktu! Sejak saat itu, aku mulai mengenal rasa sakit. Awalnya: tubuhku demam, 2000v  listrik mengalirinya dan membuat teka teki dari angkangka yang tak kupahami. Sehari setelahnya kepalaku terasa benarbenar bulat, dan dilemparlemparkan ke dindingdinding seperti bola. Nyeri merambat seperti retakan di tembok rumah. Dan mataku boneka barby dengan luka codet di dahinya. Malam benarbenar terasa cepat. Musim melompatlompat tak lagi jelas. Tapi aku rasa ada yang mati. Berjatuhan ke dadaku. Seperti batu. Atau tepatnya suara batu jatuh: mimpimu?   (diruang tamu, telivisi terus menyala tak kenal waktu juga tak gemetar!)   4 Pertempuran terakhir   Pada mimpinya yang ke seribu sembilan ratus sembilan puluh tujuh. Seekor kuda melompat, berkelebat secepat laknat, kutukku. Batu!   Kuda?! Malam yang lain, pada musimmusim yang pancaroba. Datang seribu kuda dalam mimipinya. Yang berkelebat secepat kilat, merobohkan pagar dan bungabunga; tanaman di sekelilingku, yang lebih tepatnya rasa pertemanan yang ditanam sebagai kepercayaan karena saling menjadi korban, mimpimimpinya hilang. Tidak tahu bagaimana, suatu ketika mereka marah. Diambilnya kapak, kelewang, parang, pedang, di hunjamkan ke pusat tanah. Seolaholah bersepakat dengan matahari mencipta bayangbayang: ”siapa tahu menemu waktu!”   Temanku berbisik, licik. Kuda meringkik suaranya merasuk ke jantungku. Seolah tak rela perang usai di lemparkannya semua senjata ke langitlangit, agar berdentang. Kemudian sepasukan hantu dan mambang akan datang dengan membawa kemarahan. Tapi waktu terlanjur hilang. Seperti mimpi, katanya. Lantas apakah yang lebih efektif mencipta waktu kecuali perang? Ya, perang, ritual parang dan kelewang, ladrang dan gendrang yang berkelebatan, berterabasan, berloncatan, grompyangan, berterbangan, bertalutalu membangunkan sejuta raksasa setiap malam datang. Perang tetaplah perang. Bertemunya malam dan siang. Matahari dan bulan di pusat dendam. Dan perlahanlahan mimpi berjatuhan.  
Di sudut kamar, rita berdiri telanjang. 
dari liang vaginanya sebuah puisi hurufhurufnya berjatuhan seperti mimpi.      



Language theatre Sumenep, 2008 Lihat Selengkapnya

0 komentar:

Posting Komentar