DESKRIPSI-DESKRIPSI MIMPI RITA

Rabu, 09 Maret 2011

   Namaku RITA. Seperti aku belum pernah memasuki rumahmu. Begitulah kita tidak saling mengenal. Tentu tak kenal maka tak sayang kata orangorang. Tapi kenapa rumah? Rumah seperti sebuah dunia yang selalu di kunjungi. Dimana seseorang meletakkan mi...mpi sebagai arsitektur hidup. Dan pada rumah inilah orangorang menemukan pintu untuk memasuki orang lain. Seperti belajar meletakkan liang nama sendiri. Saling mengintip cinta. Dunia tempat yang di panggil dengan marah., sebel dan benci misalnya. Rumah seperti nama lain bagi orang dan bajunya. Apa mungkin karena dalam rumah kita bisa menemukan kamar tidur. Dan tidur, apalagi tidur berdua merupakan mimpi yang menelikung gelap ranjang dan, ”kami memang benarbenar menyatu”. Tanpa curiga bukan atas sakwa sangka. Maka, mulai saat itu aku menitipkan salam kenal bagi setiap orang. Aku. Aku rita yang lugu, aku yang gugu, adalah rita mereka yang gemetar tiap mengingat semua tentang ndesa. Walau rambutku telah di cat warna merah, bibir di poles lipstik, berjalanku genit, bajuku billabong/cressida, dan kakiku di bungkus celana blue jeans merk levi’s 505. tetap saja kadang sawahsawah, ladang, kerbau, pohon pisang didamping rumah, gemerincing bambu, sungai dengan geladak kayu itu datang berbicara padaku sebagai kenangan yang patah. Lalu_ ya. Malam itu, masih segar dalam ingatanku. Malam yang mulai mencekik leherku, dengan lubang jebakan yang menyimpan hujan dalam celananya. Hujan yang siap membanjiri tubuhku/tubuhmu; dan kita perlahan tenggelam: seperti mimpi yang kehabisan waktu.   Tapi mengapa hanya mimpiku?   1 menanam bahasa dari kulit kacang   :Sebuah kenangan akan mengelupas dari rongga kepala, berlepasan seperti kulit kacang dari bijinya.   Hanya satu kali mimpinya. Seperti malam itu, aku, perempuan yang menyimpan hujan, sawahsawah dan ladang juga pohonan. Ndesa orangorang bilang, biarin. Kemudian mimpi itu berulang, lagi dan lagi. Lelaki bertanduk dengan tubuh legam. Dari matanya menyemburkan api kesumat. Laknat yang menjulur dari liang kelamin ke seluruh penjuru rumahrumah. Kemudian anakanak mengenal mimpi buruk pertamanya. Sementara seperti musimmusim sebelumnya, aku masih mengenangnya dari selasela pintu. Bagaimana dengan cara yang sama ia tanam bahasa di sakunya. Tangannya keranjang penuh kacang dan buah. Semacam rekayasa sopan santun yang di tanam di halaman sejak belanda datang; agar damai. Agar kau dapatkan mimpi pertamamu, agar sayapsayap tumbuh di kedua lengamu, dan kau garuda bersayap sepuluh! Tapi aku tak tahu kenapa harus burung. Apa biar tidak ndesa. Apakah nasib mengenal kemarahan dimatanya? Apakah dalam sejarahnya manusia di lahirkan dari paruh burung yang dikutuk malammalam oleh zeus agung, lantas kemudian hari ia berhasrat menjadi dewa. Sebab terbang terlalu jauh melintas hingga pohon rahasia dan ia mengetahui segala mimpi manusia. Perlahanlahan dijilatnya bau murung; sebuah bahasa yang terkapar di tikam lapar. Sampai bulubulu itu berlepasan menancap di pintupintu sebagai azimat para moyang.   :Bukan puisi di pusar sajakku. Katakata yang terus belia menunggu rasa dan makna. Membunuh penyair, dan bahasa yang semakin tua.   2 rumah yang bernasib buruk   -sejak saat itu, siapa yang kelewat batas, kenangannya akan tumpas.   Malam sampai juga di rumahku. Menggambar gelap dengan barisan beringin dan perdu. Situasi yang mengajakku tinggal, untuk mengulang setiap nasib sebagai diriku/dirimu: diri beku, diribiru. Bukan lantaran biru mewakili mimpi yang panjang dan malam tak pulangpulang. Bukan juga biru adalah tapal batas pandangan dan kita menemu samar. Di luar, hujan dikamarkamar. Petir menyambarnyambar, hingga tubuhku terlempar bukan sebagai rita yang mami kenal. Rita dengan pohonpohon, gunung, laut dan pantai. Rita yang ditubuhnya tak ada lagi peta dan alamat jalan pulang.   ”Marilah kemari, aku ceritakan tentang camar. Cerita yang dimulai dari tangantangan hujan di kaca jendela dan burungburng Belajar terbang dengan paruh luka. Lalu_ Dalam kemelut hujan, kau menemukannya jatuh sebagai kupukupu yang menemani sebagai malammalam!”   3 tentang ayah dari pecahan televisi   ”setiap orang memimpikannya, tapi kau membakarnya dan menguburkannya sebagai mimpi buruk”   Hei, kamu tidur rita? Kata papiku di jendela rumah kita. Kakikaki kata yang sering kali menerorku dari televisi rumah tetangga. Ia mengajarkan bagaimana caranya melotot dan marahmarah. Aku seperti dikejari berita kriminal, gossip selebritis serta telenovela. Sejak saat itu aku merasa ada yang tumbuh di jantungku, seperti pohon pisang di halaman. Yang bedanya dari pohon pisang itu, batangnya baja, daundaunnya baja. Sssttt... akarakarnya mencengkram hatiku, loch! Dan daundaunnya serupa tangga di samping rumah yang memasuki lelaki itu. Melukai sudut matanya dengan tempias hujan. Akhirnya aku putuskan, sejak malam itu, atau malamamalam selain itu: tak ada lagi waktu! Sejak saat itu, aku mulai mengenal rasa sakit. Awalnya: tubuhku demam, 2000v  listrik mengalirinya dan membuat teka teki dari angkangka yang tak kupahami. Sehari setelahnya kepalaku terasa benarbenar bulat, dan dilemparlemparkan ke dindingdinding seperti bola. Nyeri merambat seperti retakan di tembok rumah. Dan mataku boneka barby dengan luka codet di dahinya. Malam benarbenar terasa cepat. Musim melompatlompat tak lagi jelas. Tapi aku rasa ada yang mati. Berjatuhan ke dadaku. Seperti batu. Atau tepatnya suara batu jatuh: mimpimu?   (diruang tamu, telivisi terus menyala tak kenal waktu juga tak gemetar!)   4 Pertempuran terakhir   Pada mimpinya yang ke seribu sembilan ratus sembilan puluh tujuh. Seekor kuda melompat, berkelebat secepat laknat, kutukku. Batu!   Kuda?! Malam yang lain, pada musimmusim yang pancaroba. Datang seribu kuda dalam mimipinya. Yang berkelebat secepat kilat, merobohkan pagar dan bungabunga; tanaman di sekelilingku, yang lebih tepatnya rasa pertemanan yang ditanam sebagai kepercayaan karena saling menjadi korban, mimpimimpinya hilang. Tidak tahu bagaimana, suatu ketika mereka marah. Diambilnya kapak, kelewang, parang, pedang, di hunjamkan ke pusat tanah. Seolaholah bersepakat dengan matahari mencipta bayangbayang: ”siapa tahu menemu waktu!”   Temanku berbisik, licik. Kuda meringkik suaranya merasuk ke jantungku. Seolah tak rela perang usai di lemparkannya semua senjata ke langitlangit, agar berdentang. Kemudian sepasukan hantu dan mambang akan datang dengan membawa kemarahan. Tapi waktu terlanjur hilang. Seperti mimpi, katanya. Lantas apakah yang lebih efektif mencipta waktu kecuali perang? Ya, perang, ritual parang dan kelewang, ladrang dan gendrang yang berkelebatan, berterabasan, berloncatan, grompyangan, berterbangan, bertalutalu membangunkan sejuta raksasa setiap malam datang. Perang tetaplah perang. Bertemunya malam dan siang. Matahari dan bulan di pusat dendam. Dan perlahanlahan mimpi berjatuhan.  
Di sudut kamar, rita berdiri telanjang. 
dari liang vaginanya sebuah puisi hurufhurufnya berjatuhan seperti mimpi.      



Language theatre Sumenep, 2008 Lihat Selengkapnya

PUISI AMIN BASHIRI

Minggu, 06 Maret 2011

SAJAK TULANG BELULANG

hanya tinggal tulangku yang belum retak
di musim itu
saat matahari terik memanggang seluruh nafas dan sisa liur di tenggorokan
kau masih aja berdesakan mengikuti apa kata angin.
padahal sebentar lagi badai, namun kau bersikukuh menginginkan waktu itu menjadi salju
apa kau tahu, setiap lekuk ukir yang kau baca sebagai pertanda itu adalah kegeglisahan yang sengaja ku tulis dalam wujud lukisan?

tulangku mungkin sudah baja
kau tempa, kau lumasi
kaku

Sumenep,  2010






SAJAK TULANG BELULANG 2

perempuanku,
aku lelah mebaca serat di mata awan yang nanar itu, selalu jika kita buka lembaran demi lembarannya, yang terlihat hanya pertikaian dengan segala macam  bengis yang tak kunjung reda. aku bingung dengan cara palagi semua akan berakhir.

konon kau adalah rusukku,
di tanah tak berakar yang banyak ditumbuhi pohonan,
matamu siluet menggariskan lengkung pelangi

Sumenep, 2010



SEMBILAN SITUS PUISI CINTA
-untuk uni

situs
(1)
akan ada pada suatu waktu
antara sejarah dan telapak-telapak itu
membekas kepak sayap  camar
sebuah cerita, terdahulu

situs
(2)
mungkin,
beberapa hari lagi, disini
akan ada pesta angin sakal
semeriah lingkar purnama

situs
(3)
bisa saja sajakku hangus
atau hilang, berbekas
susut kepul seperti asap unggun
yang kita buat

situs
(4)
ada batu, tanah, kerikil dan air
ada pohon dan jalan-jalan
ada ranting patah karena retak
ada daun gugur tanpa hembus

situs
(5)
yang menjadi catatan pada awal pertama dalam buku itu
adalah kau dan sejarahmu
begitu bau angin yang menjamuku di samping rumahmu

situs
(6)
apa yang mesti aku tulis?
jika setiap kali tubuhku juga beradu dengan laut
selalu saja yang lahir adalah air mata

situs
(7)
memahamimu seperti memahami asin garam
yang deras mengucur tanpa pamrih
batu-batu berpendar
pecah ribuan kali lebih dahsyat dari letupan matahari

situs
(8)
mata air yang mendidih
di kesiap sudut dekat tulang pelipismu
meronalah warna glossy
lipstik jaman besi

situs
(9)
bau jam dan keringat waktu
semakin tajam saja mengatakan
bahwa aku adalah anak yang lahir tumpukan karang

suara camar, debur juga ritme-ritme yang lain
aku pulang menggenggam harap
kau mengantarku sampai batas jalan ini
setidaknya, mengingat kembali apa yang pernah kita lewati
:lelampat dan mimpi-mimpi kita


Kombang-Talango, 15 Agustus 2010





ADA KARANG YANG MENANTI

Semisal cerita, aku pernah berjanji
:kau berhutang padaku, jika nanti kau tak mempertemukanku dengan laut, maka aku akan menagihnya, tidak di lain waktu. Tapi aku akan menunggu. Tak pulang bahkan mematungkan kaki, disini

Ada karang yang menanti, karena aku pernah berjanji kepadanya untuk kita jadikan sebagai tugu, dan prasasti tempat kita bercerita: paling tidak tentangmu yang aku tidak ketahui

Terlalu banyak jalan dan pahit manis serta jejal di tanah ini perempuanku, sekali lagi pada sejumlah bunga yang merajut pandang saat ku lewati batas buih di pulau itu, adalah rumahmu yang melambai mengucap salam. Mungkin sebagai jarak yang terlalu dekat untuk kutinggalkan simpul tangis di pipimu.

Kombang-Talango, 15 Agustus 2010




EPILOG ALMANAK

-Sudiyanto



22:25

kita menelikung rengsa
celah terhunus cakrawala
hujan mematuk lorong
jejakjejak memasung degub malam

22:45

kita dalam celah hujan
mengendap pada bibir cemara
mula dentum
gelegar menambal
sayat telinga kita

23:05

kita dalam celah hujan dan gelegar
sebentarlagi pesawat mimpi akan mendarat ke bandara raga
sebab hujan menciut jadi gerimis mesra

23:55

kita dalam celah hujan, gelegar dan dentum
menyatukan peluh suara
kembang memanjat langit
tubuh kita pecah
malam menyumbat didih lampu jalan

00:01

kita keluar dari celah
hujan
gelegar
dentum
semakin angkuh melamat ruang
hujan
gelegar
dentum
meledak di buih cakrawala
jejak kita telah  nampak antara pasir langit dan batu bumi


                                                Sumenep 01-01-2011  

SUDIANTO, dengan nama pena (Manusia Perahu)  lahir di Pulau Sapeken, Sumenep, 07 Oktober 1989. Sekarang masih tercatat sebagai mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Sumenep. Puisinya pernah masuk nominasi (Ramadhan) yang di adakan oleh KPS (komunitas pena santri) juara 3 lomba cipta puisi Se-Madura yang diadakan oleh kojeks Djakarta 28 Oktober 1928 2010. puisinya di muat di buletin Sanggar Bianglala Mukaddiam Magrib 2010. dan masuk antologi 100 penyair puisi lomba yang di adakan oleh FTD Riau Merindu Tanah 2010. Aktif di Lembaga Kajian Seni Budaya PANGESTOH Net_Think Community Sumenep. kontak person 082142067833.  email: joe.bajoe@ymail.com.

ALBY DENGAN PUISINYA


MBAH
{“Penjual kacang di bawah Arek Lancor”}

Semalam antara siraman mercuri kita bercengkrama
Tentang pangkat yang diletakkan di pundakmu
Dongeng si buyung dalam pangkuan malammu
Dan tarian bulan penghantar lelapmu
Mendayung mimpi menghantar di buyung terbang

Antara hiruk pikuk dunia yang resah
Kau singkap jaritmu menimang air mata di dada
Diantara gelung uban perakmu,
kau junjung “tempeh” dalam sunggingan senyum cantikmu
menabur butiran kacang dan “bengngog” sepanjang tugu kota

sebutir kacang hangusmu telah mengantar si buyung meraih mimpi



Minggu, 25 ; 07 ; 2010 : 10 ; 17 wib

MANUSIA KARANG


Biarlah ku sebut kau begitu, hai manusia karang
Yang membungkuk serupa udang dalam layarmu
Menapaki terjalnya karang dalam khusuk do’amu
Ketika ramadhan dalam tanganmu serupa air mata di mata kaki

Menatapmu serupa air laut dalam sujudku
Berbulir senja yang kau pungut dalam setiap jarit
Diantara riuh badai tangan rapuhmu kau raba


10 Agustus 2010


Alby panggilan dari Salbiyatun, cerpenis. tinggal di Pamekasan

SELAMAT DATANG DI DUNIA IMAJINASI[1]



―amin bashiri[2]

persoalan dunia imajinasi: sebuah pendahuluan
berbicara tentang imajinasi merupakan perbincangan yang cukup menarik manakala kita mencoba memasuki ruang yang lebih berbau sastra, lebih mendominasi hal-hal yang bersifat fantasi lebih tepatnya bersifat hayal. dunia imajinasi lebih endekati pada dunia fiksi, dunia tulis-menulis—sastra utamanya, bicara soal imajinasi adalah membicarakan tentang pola penegmbangan kalimat yang berasal dari kenyataan menjadi suasana hayal penuh fantasi.  ada semacam pemikiran awal pada diri saya ketika berbicara tentang imajinasi

pertamapengembangan dari realitas
pengembangan yang dimaksud adalah cuplikan realitas yang seringkali kita alami merupakan cuplikan kisah yang tidak panjang, dan itu adalah hal yang biasa. alasan pengadopsian  terhadap realitas tersebut berdasarkan bahwa kita mampu mengembangkannya. suatu misal: hujan merupakan hal biasa yang seringkali kita lihat, kita rasakan bahkan kita alami bersama, namun imajinasi telah membuat hujan tersebut berubah, sesuai dengan perspektif atau sudut pandang masing-masing. ada yang merubahnya menjadi suasana indah, bahkan ada yang merubahnya menjadi suasana menyedihkankan..

langkah kaki-kaki hujan gemeretak memanjati kulit jendela  kian menjadi,
lebat yang gigil mengabarkan bahwa sebentar lagi badai akan datang menyapa dengan sapuan di halaman rumah kita_entah, sebelum atau sesudah aku mengingatmu sebagai kenangan terakhir waktu ini
------------------------------------------------------
apa yag harus ku lukiskan dengan warna hujan yag mengarungi dingin tubuhku?
haruskah aku memeluk potretmu sesekali sebagai penawar kantuk dan gelisah hari ini?
duhai, indah nian wana hujan yang berjatuhan, kita seperti berlari dan tertawa memunguti bulir-bulir airnya

bisa kita lihat bahwa daya imajinasi merupakan kekuatan yang amat dahsyat, dalam satu kalimat atau bahkan satu episode yang terekam hanya dalam beberapa detik mampu menjadi ringkasan suasana yang begitu hebat. hal ini merupakan bukti bahwa imajinasi merupakan pengembangan dari realita yang biasa menjadi luar biasa.

kedua—kepekaan batin
seorang penulis (sastrawan) utamanya tidak lepas dari dunia imajinasi yang terus ia bangun dengan tujuan menyempurnakan apa yang ia tangkap dari relaitas yang ditemuinya. hal ini tentu bukan pekerjaan yang mudah, sebab dalam menjelajah dunia imajinasi perlu kepekaan batin yang memang benar-benar peka. peka terhadap keadaan sekitar, realitas sosial dan mampu menangkap sesuatu ynag masih tersembunyi di balik layar, artinya dengan kekuatan iamjinasi, kita mampu mengungkapkan realitas yang bersifat semu (bisa terjadi dan bisa tidak) atau lebih konkritnya bisa meramalkan keadaan misalnya:
 kelak (sama seperti waktu hari ini) kita akan membangun rumah setengah tua, kursi dan meja pojok di ruang tamu, kasur dikamar dan meja rias disampingnya, meja tempatmu merias wajahmu, wajahku dan wajah anak-anak kita”.
ketajaman imajinasi yang seperti ini sangat memerlukan kepekaan batin yang memang benar-benar terlatih, artinya batin kita benar-benar bisa merasakan dan mengkondisikan realitas yang kita terima sehingga mampu menciptakan daya sihir tersendiri ketika orang lain membaca tulisan kita.

dan ketiga—dusta dan hiperbola bahasa
Radhar Panca Dahana ,judul salah satu bukunya adalah ”dusta dan kebohongan dalam sastra” penegasan tersebut berawal ketika sastra dipandang terlalu membesar-besarkan masalah. dari masalah kecil melalui kekuatan imajinasi menjadi masalah yang besar. namun di tengah pergulatannya, dia memberikan pembelaan bahwa kebohongan yang terdapat dalam karya sastra merupakan jalan yang akan menunjukkan kebenaran sebenarnya. disini, imajinasi berperan sangat aktif dalam pembentukan karakter dalam tiap kalimat karya sastra yang dipandang terlalu ”hiperbola” atau membesar-besarkan masalah. imajinasi berperan sebagai peran yang membantu meledaknya kalimat dalam karya sastra, sekaligus berperan sebagai  pemeran utama dalam terbentuknya kalimat dalam karya sastra. ketika ada penuduhan bahwa sastra merupakan dusta dan kebohongan yang disengaja, maka peran dan kekuatan dari imajinasi sendiri itulah yang mampu memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut.

sebagai penutup: bacalah dan selamat datang di dunia imajinasi!
―di akhir, saya katakan bahwa kita punya kemampuan menulis,kepekaan batin dan di tuntut untuk mempunyai ketajaman imajinasi tentunya karena kita mampu melakukan semua itu, dan kita mampu karena kita punya ”sesuatu” sebagai bahan bakar untuk menjalankannya. mengasah semua kemampuan itu berawal dari membaca, kekuatan membaca akan membangkitkan kekuatan-kekuatan lain yang ada. untuk itu saya katakan bacalah, seperti sabda pertama tuhan kepada nabi muhammad Iqra`  maka kita  harus juga mmebaca. belajar dari situ bahwa ternyata dengan membaca kita akan semakin tahun, tingkat ketajaman imajinasi kita dalam mengolah suatu masalah, bagaimana setiap hari kita akan melihat dan membaca produk dari orang lain yang tentunya mungkin lebih senior dari kita dengan karyanya telah membuktikan hal itu. maka, dari sini mikta bisa tahu bahwa ternyata dengan membaca akan lebih mudah dan luas membuka jendela untuk dunia.

 selamat membaca, dan selamat datang di dunia imajinasi— wassalam..

Soklancar,  minggu dini hari pada jam 00.30 tgl 31 Agustus 2009




[1] disampaikan dalam acara ”tadarus sastra” di kampus STITA Sumenep tgl 31 Agustus 2009 dalam rangka agenda tahunan  LKSB Pangestoh Net-Think Community
[2] penulis, penjab litbang LKSB Pangestoh Net-Think Community

PUISI-PUISI KEPADA SEORANG KAWAN (dalam beberapa bagian)

Kamis, 03 Maret 2011

 OLEH :
 AMIN BASHIRI


kepada seorang kawan (bag. 1)
: Lukman  Tambusi

puisi,
puisikanlah jiwa yang renta itu
jangan biarkan sungai mengalir air matamu, saat kematian datang  dan sunggih di sudut bibir mulai merayap menghapusnya
kita hanya perlu paham satu arah, dimana keabadian selalu menjadi rumah beratap ijuk dan berlantai empuk: rumah yang pernah kita rencanakan sebelumnya.

di suatu waktu, puisi
adalah puisi untuk hatimu yang luka, nganga tak akan terhenti mengucur pada setiap perih yang selalu saja hadir di dada kita sebagai tamu, sebagai badai sebagai harap yang cemas..

puisi,
puisikan kemarahanmu tentang cerita
puisikan keinginanmu dan semesta yang mengungkungnya, puisi itu puisi yang lahir dari rahimnya, dari rahimmu

jika hujan masih senantiasa mengawinkan angin dan mendung, maka hadirlah dalam puisi
sebab puisi ada diantaranya,
kilat gelegar
beliung hembus
gempa retak
dan pada akhirnya kita akan berpulang, menuju rumah itu

 Sumenep, 2010


kepada seorang kawan (bag.2)
:Lukman Hakim AG

larik-larik hujan masih berdiskusi tentang persitegangan antara dua pasang mata yang nanar. kita sudah lelah beradu, bertamu pada setiap kata, pada setiap  jeda yang hampir menjadi bait dalam lingkar atap yang sama

hanya saja sajakku tak begitu sanggup melagukan melankolia daun mawar itu, terlalu rapuh kawan jika harus ku samakan jejak-jejak dibalik hujan kemarin. dan aku masih setia menulisnya

pada suatu waktu, saat itu jam berputar melebihi putaran detik ke menit
 aku ingat saat kita bersajak dan berlari pada setiap lengkung warna pelangi
di musim penghujan. kita gugat awan
“oi..pituturku ombak, teriakku guntur”

 Sumenep, 2010


kepada seorang kawan (bag.3)
: S. Ajida Fajri Yazido

mengeja,
luka bersama
di lumbung tak bertubuh itu, desah hangat tersimpan
ingatan kita
ingatan duka

jalan-jalan  sudah belukar, menuju peraduan kamboja yang sering kau katakan
dan seorang perempuan bermata angin itu selalu saja menjadi pemacu, saat kau tulis sajak dari serat-serat dedaun. sebelumnya, kau pernah bilang bahwa angin juga akan berhenti jika semua mengerti bahwa pada setiap batu yang diam adalah kebenaran

bertubuh pada alam, suaramu melengking
petuah dinding-dinding bambu yang mengantar langkah menuju hidup selanjutnya
di balik gigil,
arah sungai  menjadi pengantar suratmu

Sumenep, 2010



kepada seorang kawan (bag. 4)
: Em Ridwan

bila musim berkata jujur
saat ini dingin penghujan
hanya saja aku belum menemukan sajakmu yang nakal

kuingat ketika pertama kali kau tanam sajak-sajak kecil  di dadamu,
ingin kau tumbuhkan di antaranya akar serabut bunga kamboja
sejenis purnama, mungkin seperti itu
di kepalamu juga kau ukir  perihal kematian seorang perempuan yang selalu sunyikan senyum di belantara rambutmu, perempuan yang kau tulis berepisode dua puluh lima

kau tidak linglung kawan,
kau hanya butuh pemanis sejenak
pada puisi-puisimu yang mengajariku membaca aksara

Sumenep, 2010



kepada seorang kawan (bag. 5)
:Awie

labirin waktu,
itu sering kau bilang padaku saat pertamakali kita hujat mendung
waktu itu angin sedang sepoi meniadakan dahsyat badai, bagai larik api  memanjat di sebilah pucuk laras tajam pedang
, kau berasajak dengan rambutmu
 ungu dan nila sualaman pelangi saat itu di wajah rerumput, tanpa embun

berkisah tentang jarak, adalah senyummu
kau berkisah kawan. bukankah jarak dan waktu adalah kau sendiri yang mendekaminya
aku hanya sebagian dari kisahmu yang terulang
di musim berikutnya, entah apalagi yang kau bawa

Sumenep, 2010


kepada seorang kawan (bag. 6)
:Day

seperti meminum segelas kopi,
kau adalah asap bermunculan. mengepul
udara menyisakan bau gerimis semalam, tapi nalurimu masih terlalu bijak untuk berkata bahwa hujan hari kemarin adalah hujan yang lahir dari mata mereka: yang merindukan kita

tak pernah kau bersikukuh dengan luka untuk sebuah perjanjian
sekedar mengulang tangis lepas, tapi pasrah
ya, mungkin terlalu panjang kau uraikan kisah itu, kisahmu dengannya

aku lalang, kawan
mataku sepasang api
dadaku perisai, dan tanganku pedang berkilat guntur
-isakmu terus bergelayut dari ranting ke ranting ingatan

dengan segelas kopi,
aku kembali mengingatmu. disini

Sumenep, 2010


kepada seorang kawan (bag. 7)
:Ozie

masih terekam, suara gelegar itu
menyunggih purnama untuk kau ikutkan dalam perlombaan di waktu berikutnya

alismu, laut menepi
tak jadi gelombang, tak jadi badai

Sumenep, 2010


kepada seorang kawan (bag. 8)
:Al

kau resi,
anggun pertapamu adalah birahi waktu
dengan sejumlah jarum yang siap kau tusukkan dimataku, kau berlari
menganyam pagi, menari

saban hari, kau lukai waktu dengan sajak-sajakmu,
sajak-sajak ngilu tentang paha, buah dada dan  selangkangan
seperti di kepalamu yang kau kata adalah tanduk itu, kau ikrarkan sebagai nisan

kawan,
langkahmu jejak dalam malam
jika kau tulis napsumu, maka itu adalah rindu
puisi,
(puisi hati, puisi hati)
puisimu, perempuan yang menggelepar pasrah di ujung pertemuan antara malam dan pagi, lebih tepatnya subuh menanti.
 puisimu, abadi

Sumenep, 2010


kepada seorang kawan (bag. 9)
:Nur

matahari nur, mata air hidupmu dan anak itu
kau tak pernah lelah mengajariku bercengkerama dengan empat musim yang menandai semuanya dengan kata: hujan, panas, semi dan gugur
maka lihatlah!
sajakku, sajak kaku
sajak ungu

matahari nur, mata air  timang pangkuanmu
pada setegar daun mawar, kelopak bertahta bebunga, aku titip kejantanan kepak sayap kupu-kupu: disana permayaman terjadi, bertunas benih tumbuh dalam wujud baru

langkah ini masih belum selesai nur, pagi menanti harapmu dan anak itu
ingat mimpi dan pasrah yang pernah ia katakan
: lakilaki dalam hidupmu adalah waktu

Sumenep, 2010


kepada seorang kawan (bag. 10)
:Andi Nyalam

di luar jendela berderit daun pintunya, nganga deras sisa hujan masih menetes: gerimis
ada namamu mengajakku menari pada sebentuk tetes itu, mungkin kita sama-sama rindu memaknai sepi yang menguji,

kawan, nyaliku tak cukup besar untuk itu
tak perlu bermimpi panjang lebar, cukup kau tulis saja aku dalam puisimu
maka kita akan beradu,

perihal musim yang kita gubah kemarin telah semi, gugur menanti perjumpaan kita selanjutnya
kau mau pilih mana,
di gerigi talas atau runcing melati?
sebab tak mampu kusuguhkan tempat bermukim selain keduanya

Sumenep, 2010


kepada seorang kawan (bag.11)
:Mahendra

tubuhmu ular
aku tulang retak di dalamnya
seperti bajak laut,
kau perompak dalam sajak-sajakmu

gelembung udara
episode kapal api
ikan gabus
dan manekin

kawan: sajakmu membakarku
 Sumenep, 2010


kepada seorang kawan (bag.12)
:Syah Latief

maut itu, kawan
adalah lihaimu yang letih merampung kisah bulan dan bintang

di bawah teriknya kita sempat berencana mengintip purnama, tak hanya sekali tapi berulang pada suatu waktu berepisode sama.
kawan, lagu itu telah kau gubah menjadi puisi, menjadi tulisan-tulisanmu yang mencambukiku hingga memar
pada sekeping cambukan terakhir di telingaku, aku jadi tersadar dan bangun

ternyata aku belum mampu sepertimu

 Sumenep, 2010


kepada seorang kawan (bag.13)
:Luna

dan masih saja angin sepoi ini mengingatkanku pada sumpahmu,
perihal dendam yang masih kau simpan untukku
tapi aku tahu, dendammu kesumat suci

jam itu
akan berputar
entah berapa kali putaran menuju waktu yang tak bisa kita kira,
dan pasti berakhir pada masa: saat itu kau berhasil mengalahkanku

Sumenep,2010


kepada seorang kawan (bag.14)
:Fief, Us

pernahkah kau lihat kupu-kupu?
sayap yang merentang di pungungnya itu adalah kau dan napasmu
meski tersengal mengeja aksara, kau jauh melangkah pada seribu wajah di laut dan awan, mereka menyatu seperti halnya kau yang menyerupainya

ada angka bergelantung di satu ranting kepalamu, tentang  dunia
bukankah begitu?
semisal kutawarkan manis madu ratu lebah, kau mungkin akan menolaknya
tapi kau lebih memilih duduk bersandar dengan sebongkah puisi yang kau lahirkan,
kau tidak membuatnya kawan, tapi kau melahirkannya
dia anakmu
anak dari pikirmu,
anak semesta yang kelak jika besar akan memanggulmu menemui siapa sebenarnya dia
luka waktu tak dapat dipendam, tapi arus selalu saja menutupinya.

Sumenep, 2010


kepada seorang kawan (bagian akhir)
:Aku, Kau, Lonceng Dan Hujan


bunyi lonceng mengingatkanku pada saat pertemuan kita di tepian bundaran air mancur bertubuh gembul itu, di suatu malam saat purnama tak sempurna menunjukkan senyummnya dan gerimis tiba-tiba datang sekedar menyapaku:
“hei, apa kabarmu”

dan kau menudingkan jarimu memberi isyarat padaku perihal mendung,
“itu tadi hujan yang menyapamu, dia teman lamaku “
sejak saat itu pada malam-malam berikutnya aku selalu belajar menuding dengan dengan telunjuk mengarah ke langit dan berkata: hujan adalah temanku

bunyi lonceng berikutnya, megingatkannku saat kau bercerita perihal keakrabanmu denganku:
 “aku lihat guntur dimatamu, aku lihat gelombang pada katamu, aku lihat warna pada langkahmu, itulah kenapa ku selalu bergetar ketika mendengar namamu”
 begitulah, sepenggal kalimat yang terbisik ketika kita sempat berjamu untuk yang kesekian kalinya.
(saat itu tak ada hujan, dan kau tak menuding lagi kearah langit. tapi lonceng tetap berbunyi)

malam-malam setelahnya, bunyi lonceng hanya berbatas pada jarum yang jatuh di atas jerami, hujan mengintip saat mendung mulai datang…dan kau tak pernah lagi berkata-kata, menuding bahkan bercerita.

dengan tiba-tiba aku segera berlari
disebelahku ada sepasang capung merah sedang bertengger pada kelopak dahlia, aku berbisik: aku rindu bunyi, hujan dan dirinya yang menuding langit lagi

sumenep, 03 november 2010